wacana

Pengadilan Sokrates dan Politik

Oleh : Jimmy Jeniarto

Pada tahun 399 SM, Sokrates diajukan ke pengadilan oleh Anytos, Meletos, dan Lykon. Sokrates didakwa memperkenalkan jenis ketuhanan baru dan tidak menyembah Tuhan-tuhan resmi negara. Sokrates juga didakwa merusak generasi muda dengan ajarannya tersebut.

Pada saat sidang, Sokrates membuat Meletos berpikir bahwa Sokrates atheis, sehingga sebenarnya telah terjadi ketidak-konsistenan dakwaan yang diajukan, yakni tentang memperkenalkan ketuhanan baru. Akan tetapi, suara terbanyak para hakim memutuskan Sokrates bersalah. Sokrates tahu bahwa sebenarnya terdapat alasan lain yang membuatnya diputus bersalah.

Para penuduh mengajukan hukuman mati. Di dalam hukum Athena terdapat ketentuan bahwa seorang tertuduh dari klas tertentu dapat mengajukan hukuman alternatif. Sokrates awalnya tidak mau mengajukan alternatif hukuman karena hal tersebut sama dengan mengakui kesalahan yang tidak diperbuatnya.

Sokrates akhirnya mengajukan tawaran denda, namun dalam jumlah yang sangat kecil. Para hakim marah dan merasa terhina terhadap tawaran Sokrates, terhadap cara Sokrates memperlakukan pengadilan. Jumlah hakim yang menjatuhkan hukuman mati menjadi lebih banyak dibandingkan ketika memutus bersalah Sokrates.

Burnet (1953) berpendapat bahwa hukuman mati terhadap Sokrates sebenarnya bukan persoalan atheis atau tidak meyakini tuhan resmi negara dan memperkenalkan tuhan baru. Di Yunani saat itu tidak ada ortodoksi keagamaan dan tidak ada klas pemuka agama yang berkuasa (hierarkhi). Kritik terhadap Tuhan-tuhan populer tak jarang dilakukan saat itu, dan tidak menimbulkan masalah berarti. Tidak ada yang dituntut ke pengadilan atas dasar pandangan-pandangan keagamaan. Beberapa kejadian, misal pada Anaxagoras dan Protagoras, diyakini dilatarbelakangi persoalan lain.

Dakwaan yang diajukan pada Sokrates hanyalah dalih. Dasar tuduhan yang sebenarnya terhadap Sokrates tidak ternyatakan di dalam dakwaan resmi. Dasar dakwaan yang sebenarnya adalah politik. Pada tulisan Plato terindikasi bahwa alasan sebenarnya tuduhan terhadap Sokrates adalah persoalan politik. Sokrates mengkritik demokrasi dan para pemimpin Athena.

Apa yang disebut sebagai “meracuni anak-anak muda” sebenarnya juga persoalan politik. Terhadap anak-anak muda, Sokrates mengajak untuk menumbuhkan sikap kritis terhadap keadaan politik. Sokrates menularkan pada anak-anak muda pemikiran anti demokrasi yang hal ini dapat mengarah pada revolusi oligarki. Ajaran Sokrates dianggap dapat membahayakan konstitusi.

Sedangkan Zeller (1950) menyatakan bahwa dasar utama tuntutan dan hukuman pada Sokrates adalah ketidaksukaan mayoritas masyarakat Athena pada pemikiran yang dibawa oleh Sokrates. Zeller menyebut pemikiran Sokrates sebagai pencerahan modern. Faktor ketidaksukaan mayoritas masyarakat bertemu dengan faktor kepentingan elit-elit Athena, maka berbuah hukuman mati terhadap Sokrates.

Kisah Sokrates mengabarkan bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari politik. Ada pelaku politik, ada korban politik, termasuk bagi orang yang mengaku tidak berpolitik sekalipun. Sokrates mengajak orang-orang Athena untuk kritis melihat politik.

Sokrates mengkritik sistem politik Athena, yakni demokrasi Athena, beserta para elitnya. Tentu saja, demokrasi Athena berbeda dengan demokrasi saat ini. Demokrasi Athena tidak memberi hak sama antara pria dewasa yang bebas di satu sisi dengan wanita dan budak di sisi lain. Demokrasi Athena adalah demokrasi klas pemilik budak. Athena memiliki populasi budak yang sangat banyak sejak jaman Perikles hingga Aristoteles.

Demokrasi Athena memperlihatkan posisi klas pemilik modal dan klas bukan pemilik modal. Para budak dan wanita dianggap tidak memiliki hak yang sama dengan pria dewasa bebas dan pemilik budak. Pemikiran ini terdapat pada masyarakat patriarki sistem perbudakan.

Terlepas dari Demokrasi Athena, sebenarnya demokrasi itu sendiri memiliki paradoks. Demokrasi memberi mekanisme pengambilan keputusan berdasar kehendak seluruh rakyat, bukan hanya kehendak para elit-elit saja. Setiap individu diberi hak sama. Namun demokrasi juga dapat menjurus pada tirani mayoritas, penghakiman mayoritas, dan penafikkan suara minoritas. Demokrasi dapat membunuh demokrasi itu sendiri, yakni ketika mayoritas menghendaki semakin dibatasinya hak kebebasan individu.

Naiknya Hitler menjadi penguasa Jerman tercapai melalui mekanisme demokrasi. Ketika demokrasi bertemu dengan pemikiran nasionalis-chauvinis, maka kemudian naiklah kekuasaan fasisme Jerman. Demokrasi di Jerman kemudian menghasilkan demokrasi yang rasis, chauvinis, serta militeristik.

Di Indonesia sering terjadi penghakiman massa dengan alasan aspirasi atau kehendak mayoritas. Misal, pengusiran, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap kelompok keagamaan lain, juga penutupan rumah ibadah. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah pertemuan antara kehendak massa dengan kepentingan elit politik dan ekonomi yang mengamankan posisinya.

Demokrasi, sebagai bagian dari politik, tidak berada di ruang hampa. Politik pada dasarnya adalah politik ekonomi. Dengan demikian, demokrasi sebagai sebuah sistem politik juga terkait dengan ekonomi. Persoalan pokok ekonomi adalah persoalan kepemilikan modal. Demokrasi yang sedang berlangsung juga terkait dengan posisi kepemilikan modal. Sebuah tipe demokrasi tertentu dapat tegak berdiri karena didukung oleh klas pemilik modal yang sedang berkuasa.

Semenjak diberlakukannya TAP MPRS XXV/66, Indonesia secara resmi melarang pemikiran Marxisme dan Leninisme (Komunisme). Propaganda yang kemudian disebarkan adalah bahwa Marxisme dan Leninisme adalah ajaran tentang atheisme yang bertentangan dengan sila pertama Pancasila.

Namun para pelarang Marxisme lupa bahwa para tokoh pendiri Indonesia, terutama Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, adalah orang-orang pergerakan yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Marxisme. Beberapa tokoh Komunis merupakan tokoh agama, seperti Haji Misbach di Solo.

Jika Marxisme dikaitkan dengan atheisme, maka hal itu dikarenakan pemikiran Marx yang berwatak saintifik dan materialis. Jika demikian, maka seharusnya pengajaran sains dilarang di Indonesia, karena tidak ada sains yang tidak materialis. Para tokoh atheis kontemporer adalah para saintis yang justru bukan Marxis, misalnya Stephen Hawkings, Richard Dawkins, Lawrence Krauss, Victor Stenger, Michio Kaku dan Peter Higgs.

Namun jika kemudian disanggah dengan argumentasi bahwa di Indonesia sains dijiwai nilai ketuhanan, maka dapat juga dimungkinan terjadinya perkawinan antara teori Marxis dengan nilai ketuhanan. Bung Karno telah melakukannya melalui Marheinisme. Di tempat lain, almarhum Hugo Chavez, mantan pemimpin Venezuela, adalah seorang Marxis dan Katolik sekaligus. Theologi Pembebasan yang muncul di Amerika Latin merupakan persinggungan antara agama Katolik dan teori-teori Marxisme.

Apa yang dituduh bertentangan dengan sila pertama Pancasila ternyata tidak hanya atheisme, namun juga segala keyakinan spiritual dan keagamaan yang tidak menganut monotheisme dan tidak termasuk di dalam agama-agama yang diakui secara resmi oleh negara. Agama-agama lokal tidak diakui. Orang yang bertuhan tapi tidak beragama termasuk tidak diakui oleh negara. Kong Hucu secara resmi diakui oleh negara sebagai agama setelah Gus Dur menjadi presiden.

Alasan utama dilarangnya Marxisme di Indonesia sebenarnya adalah persoalan politik, atau lebih tepatnya politik-ekonomi. Klas-klas yang merasa terancam kedudukannya oleh pemikiran Marxisme perlu melenyapkan pemikiran Marxisme dari Indonesia. Marxisme dapat membahayakan posisi ekonomi-politik mereka melalui revolusi klas bukan pemilik kapital.

Demikian pula dengan pelarangan keyakinan spiritual dan keagamaan yang dilabeli sesat, sebenarnya adalah dalam rangka kontrol kekuasaan politik terhadap pemikiran warga negara. Pelarangan pemikiran atau keyakinan tertentu dalam rangka kontrol politik ini bukan hal baru. Pada jaman kolonial, pemerintah Belanda merasa perlu mengawasi kehidupan spiritual penduduk pribumi agar tidak mengarah pada gerakan pemberontakan politik. Penciptaan  atau penyematan istilah “Haji” di depan nama orang yang baru pulang dari Arab untuk ibadah haji merupakan contoh kontrol politik terhadap penduduk pribumi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Kontrol politik pula yang mengakibatkan Sokrates harus dilenyapkan dari Athena. Elit-elit yang sedang berkuasa di Athena merasa terancam oleh pemikiran-pemikiran Sokrates. Berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan pemikiran Sokrates. Tidak ada yang lebih ditakutkan oleh kekuasaan selain pemikiran.

Hal terpenting yang dapat diambil dari sikap Sokrates adalah bukan persoalan demokrasi, oligarki, tyrani, atau apa pun itu, namun persoalan pikiran kritis dan terbuka. Demokrasi memberi keterbukaan, namun juga dapat mengurangi kekritisan pikiran jika terjadi tirani mayoritas, yang kemudian justru dapat mengarah pada ketertutupan. Oleh karena itu, demokrasi harus selalu dikawal  oleh pemikiran kritis dan terbuka.

Sehari sebelum pengadilan Sokrates, kapal Athena berangkat ke pulau Delos untuk acara keagamaan tahunan. Sesuai aturan, tidak boleh ada hukuman mati di Athena selama kapal sedang ke pulau Delos, dan menunggunya hingga kembali ke Athena. Selama sebulan, Sokrates menunggu eksekusi hukuman mati dengan menghabiskan waktu di penjara berdiskusi bersama rekan-rekannya. Betapa tidak adil hukuman yang dijatuhkan dan dakwaan yang tidak dapat dibuktikan, namun Sokrates merasa bahwa sebagai seorang warga negara yang baik maka ia harus mentaatinya.

 

Yogyakarta, 08 April 2013

Discussion

No comments yet.

Leave a comment